Bagaimana sih sebenarnya proses menerima-memaafkan-bersyukur itu?
Apakah untuk dapat memaknainya kita harus dipukul telak
dulu? baru kita dapat mempelajari maksud dari kata-kata tersebut?
Saya bingung dengan apa yang terjadi pada kehidupan saya akhir-akhir
ini, serasa dilewati oleh tornado dan menyisakan puing-puing pertanyaan yang
berseliweran di kepala.
Dan celakanya puing-puing ini ketika saya hendak
membersihkannya satu per satu, eh, datang lagi tsunami, yang meluluhlantakkan
pertahanan dan membawa kembali puing-puing yang baru sempat saya bersihkan
sedikit.
Ada apa sebenarnya ini?
Terlalu berlebihankah saya jika saya betul-betul
mempertanyakan: kenapa?bagaimana bisa?
Apakah saya harus menelan pil pahit ini tanpa perlu tahu apa
yang sebenarnya saya telan?
Bagaimana jika pil ini membuat hati saya semakin
perih?bagaimana jika “ia” memporak-porandakan isi pikiran saya sementara bibir
saya harus tersenyum menerima?
Their answer.....
“Bersyukur atas apa
yang telah diberikan, kalau saya jadi kamu sih saya sebenarnya tidak terlalu
pusing memikirkannya”
Saya maunya begitu ya Tuhanku, tapi apalah daya hati hamba
ini, masih sangat jauh dari bersih, masih sangat butuh bimbingan dan
pengampunan-Mu,,atas ketidaksyukuran hamba atas segala nikmat yang telah kau
berikan.
“Ikuti saja apa maunya
mereka, kamu banting tulang pun tak dihargai selama ini, nah sekarang saatnya
membuang semua kerja keras itu, karena toh sama saja”
Saya juga maunya begitu, tapi apakah ini jawaban yang tepat?
“Saya juga sama
denganmu, saya tidak terima dan sakit hati atas semua ini, tapi yah mau
bagaimana lagi?”
Saya setuju, tapi lantas apakah dengan menerima itu kita
bisa saja seenaknya terus dijajah oleh mereka?
“Tidak usah bertanya,
kesannya kamu malah membangkang, terima saja, bersyukur atas apa yang diberi”
Saya menghadapi situasi seperti ini, membuat saya berpikiran
tidak baik, ingin lari saja dari sini, tapi kata membangkang itu tidak mau saya
wujud-nyatakan.
“Manusia yang hebat
dibentuk bukan dari kemudahan, namun dari kesulitan, kerja keras dan air mata”
Bolehkah dengan saya menangis saja, lantas perasaan ini
turut mengalir mengikuti limpahan air mata yang berderai?
Membahas lagi akan hal yang merusak hati itu, maka saya
sekarang memilih bungkam saja, saya hanya bisa mencurahkannya disini, di
Historia....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar